Showing posts with label Hukum Islam. Show all posts
Showing posts with label Hukum Islam. Show all posts

Haram! Aturan Suami Istri Berafiliasi Memakai Mulut

Kumpulan Doa Islami - Dewasa ini, medis membolehkan hampir semua jenis hubungan suami istri. Hampir tidak ada lagi batas-batas dan benang merah apa yang boleh dan dihentikan dalam bekerjasama suami istri. Jika untuk orang non-Islam, hal itu mungkin tidak mengapa. Tetapi bagaimana dengan Islam?

Salah satu yang kerap menjadi pertanyaan dalam hubungan suami istri ialah wacana hubungan memakai mulut. Bolehkah dalam Islam?

Dalam kitab Masa`il Nisa’iyyah Mukhtarah Min Al-`Allamah Al-Albany karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi hal. 197 (cet. Majalisul Huda AI¬Jaza’ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany rahimahullah ditanya sebagai berikut:
“Apakah boleh seorang wanita mencumbu batang kemaluan suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?”

Beliau menjawab:
“Ini ialah perbuatan sebagian binatang, mirip anjing. Dan kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, mirip larangan dia turun (sujud) mirip turunnya onta, dan menoleh mirip tolehan srigala dan mematuk mirip patukan burung gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa Nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan—sebagai penguat yang telah lalu, apalagi binatang yang telah dlketahui kejelekan tabiatnya. Maka seharusnya seorang Muslim, dan keadaannya mirip ini, merasa tinggi untuk mirip hewan-hewan.”

“Adapun isapan istri terhadap kemaluan suaminya, maka ini ialah haram, tidak dibolehkan. Karena ia (kemaluan suami) sanggup memancar. Kalau memencar, maka akan keluar darinya air madzy yang dia najis berdasarkan kesepakatan (ulama’). Apabila (air madzy itu) masuk ke dalam mulutnya kemudian ke perutnya maka boleh jadi akan menimbulkan penyakit baginya. Dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah telah berfatwa wacana haramnya hal tersebut—sebagaimana yang saya dengarkan pribadi dari beliau-.”

Asy-Syaikh AI-`Allamah `Ubaid bin ‘Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry hafizhahullah, salah seorang ulama besar kota Madinah, dalam sebuah rekaman, dia ditanya sebagai berikut,
“Apa aturan bekerjasama memakai mulut?”

Beliau menjawab:
“Ini ialah haram, sebab itu termasuk tasyabbuh dengan hewan-hewan. Namun banyak di kalangan kaum muslimin yang tertimpa oleh perkara-perkara yang rendah lagi ganjil berdasarkan syari’at, nalar dan fitrah mirip ini. Hal tersebut sebab ia menghabiskan waktunya untuk mengikuti rangkaian film porno melalui video atau televisi yang rusak. Seorang lelaki Muslim berkewajiban untuk menghormati istrinya dan jangan ia bekerjasama dengannya kecuali sesuai dengan perintah Allah. Kalau ia bekerjasama dengannya selain dari kawasan yang Allah halalkan baginya maka tergolong melampaui batas dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam.”

Boleh Melihat Kemaluan Pasangan Sah?

Dalam Islam, hubungan antara pasangan suami istri bukanlah hal yang terlarang untuk dibicarakan, namun bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian rupa.

Hal yang tidak sanggup dihindari saat seseorang ingin melaksanakan hubungan memakai verbal terhadap pasangannya ialah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini para ulama dari madzhab yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh badan istrinya hingga kemaluannya sebab kemaluan ialah sentra kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih lagi belahan dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan, “Aku tidak pernah melihat kemaluannya saw dan dia saw tidak pernah memperlihatkannya kepadaku,” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2650).

Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’ dengannya dan seluruh belahan badan istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai badan dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama kami, sebab tujuan dari berjima’ tidaklah hingga kecuali dengan hal yang demikian. (Bada’iush Shona’i juz VI hal 157 – 159, Maktabah Syamilah)

Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan kesepakatan nikah yang sah didalam bekerjasama diperbolehkan untuk saling melihat setiap belahan dari badan pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta ialah hadits munkar tidak ada landasannya. (asy Syarhul Kabir Lisy Syeikh ad Durdir juz II hal 215, Maktabah Syamilah)

Hukum Memuaskan Diri Dalam Islam

Kumpulan Doa Islami - Sekarang ini, dalam bidang medis, memuaskan diri banyak dianjurkan untuk para pemuda-pemudi yang belum menikah. Jika pun tidak dianjurkan, tapi dibolehkan. Alasannya, untuk kesehatan. Ada saja dalih-dalih yang dipergunakan. Mulai dari mencegah kanker, menjaga imunitas tubuh, hingga melepaskan stress, dan sebagainya. Tapi tolong-menolong bagaimana hukumnya dalam Islam?

Memuaskan diri(dalam bahasa Arab disebut dengan Istimna) ialah suatu perbuatan merangsang diri sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan tanpa pasangan yang sah. Dalam Islam berdasarkan dominan para fuqaha memuaskan diri ialah suatu perbuatan yang dipandang sebagai dosa besar. Imam Ashafie dan Imam Malik, mengharamkan perbuatan ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an:
“Dan mereka yang menjaga kehormatannya (dalam hubungan ranjang) kecuali kepada istri atau hamba sahayanya, maka tolong-menolong mereka tidaklah tercela. Maka barangsiapa yang menginginkan selain yang demikian, maka mereka ialah orang-orang yang melampaui batas,” (Surat Al-Mu’minun 23-5,6,7).

Penjelasan Imam As-Shafie dan Imam Malik diperkuat pula oleh riwayat berikut: “Di hari darul abadi Tuhan tidak akan melihat golongan-golongan ini lantas terus berfirman: ‘Masuklah kalian ke dalam api neraka bersama-sama mereka yang (berhak) memasukinya. Golongan-golongan tersebut ialah :
  1. Orang-orang pacaran/menikah sesama jenis,
  2. Orang yang bersetubuh dengan hewan,
  3. Orang yang mengawini istri dan juga anak perempuannya pada waktu yang sama
  4. Orang yang kerap memuaskan diri, kecuali jikalau mereka semua bertaubat dan memperbetulkan diri sendiri, maka tidak lagi akan dihukum,
    (Maksud riwayat yang disandarkan kepada Nabi Sallallahu-alaihi-wasallam, dikemuakan oleh Imam azd-Dzahabi dalam Al-Ka’bar, 59, tanpa mengemukakan status kekuatannya atau sumber periwayatannya).

Mengapa memuaskan diri diharamkan? Sebab ini akan hanya mendorong pelakunya untuk melaksanakan hubungan yang selanjutnya. Nah pintu inilah yang ditutup oleh Islam. Menurut Shah Waliallah Dahlawi kegiatan ini juga berdampak pada aspek negatif priskologis si pelaku, perasaan malu, kotor dan berdosa menghinggapi. Sehingga ia tidak berani untuk mendekati pria atau perempuan yang ia sukai. Malu akan kelakuannya ini juga merupakan fitrah manusia.

Melakukan hal itu secara sering juga banyak membawa mudarat kepada kesehatan si pelaku, tubuh lemah, anggota tubuh kaku dan bergetar, perasaan berdebar-debar dan pikiran tidak menentu. Belum lagi hal ini akan mempengaruhi produksi banyak sekali organ reproduksi yang normal. Berkurangnya sel telur dan sperma hingga tidak bergairah. Melazimkan diri dengan onani telah menciptakan pelaku menjauhi nilai-nilai moral serta watak tinggi yang menjadi unsur utama kemuliaan umat Islam.

Namun, sebagaian andal fiqh beropini bahwa memuaskan diri dibolehkan jikalau seseorang menghadapi keadaan yang gawat sebab luapan syahwat dan beliau berkeyakinan bahwa dengan melaksanakan hal ini, ia akan meredakan syahwatnya dan sanggup pula menghalangi dirinya dari terjerumus ke dalam sesuatu zina. Setelah tentunya ia melaksanakan banyak sekali tindakan preventif menyerupai puasa, dzikir dan shalat, (QS Yusuf 12, ayat 32 dan 33).

Membolehkannya para ulama bukanlah bertujuan menghalalkan perbuatan tersebut tetapi didasarkan kepada kaidah seruan fiqh yang menyatakan: “Dibolehkan melaksanakan ancaman yang lebih ringan biar sanggup menghindari ancaman yang lebih berat.” Di sini perlu diperhatikan bahwa, itu diperbolehkan dalam suasana yang amat penting. Bukan dilakukan setiap hari dengan ransangan pula. Pertama dibolehkan atas dasar pertimbangan maslahat agama. Sedangkan yang kedua diharamkan atas dasar kontradiksi dengan perintah dan nilai-nilai agama.

Dan barang siapa yang berusaha untuk menjauhkan onani-masturbari atas dasar taqwa dan keyakinan kepada Allah Subhanahu waTa’ala, pasti Allah akan mencukupinya. Insya-Allah hidayahNya akan membimbing seseorang itu menjauhi perbuatan nista tersebut dan akan digantiNya dengan anugerah kelazatan jiwa dan kepuasan batin yang mustahil tergambarkan.

Sederhananya, jikalau hati dan nurani kita merasa tidak nyaman dengan apa yang kita lakukan, itulah tandanya bahwa ada sesuatu yang salah dengan yang sedang kita perbuat. Wallohu alam bishawwab.

Hukum Merekam Video Relasi Intim Suami-Istri

Kumpulan Doa Islami - REKAMAN video intim beredar dimana-mana. Jangankan yang sudah menikah, perzinahan direkam dan tersebar terutama di internet. Mulai dari artis yang kemudian dipenjara dan dibebaskan dan dielu-elukan kolam pahlawan, hingga anggota dewan perwakilan rakyat yang katanya terhormat.

Bagaimana dengan suami-istri berdasarkan Islam? Bolehkah merekam adegan yang sangat langsung itu?

Masalah ini terus ramai menjadi pembicaraan, sementara bala’ dari perbuatan tersebut telah menimpa mereka, mulai dari belum dewasa hingga orang tua.

Islam telah menetapkan bahwa hubungan tubuh hanya boleh dilakukan antara seorang pria dengan isteri dan budaknya (lihat QS al-Muminun [24]: 5-7). Selain itu, syara’ juga telah menetapkan batas-batas aurat yang harus dijaga kecuali di antara mereka. Bagi suami-istri, masing-masing diperbolehkan melihat seluruh belahan tubuh pasangannya. Bahz ibn Hakîm telah meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata:
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, manakah belahan aurat kami yang harus kami tutupi dan mana yang boleh kami biarkan?” kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Jagalah auratmu, kecuali dari istrimu atau hamba sahaya perempuanmu.” (HR Abu Dawud).

Mesikupun demikian, Islam mengharamkan menceritakan aurat pasangannya dan wacana hubungan tubuh itu kepada orang lain. Dalam Hadits riwayat Muslim, Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya insan yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami membuatkan diam-diam istrinya,” (HR Muslim dari Abi Said al-Khudri).

Keharaman menceritakan tersebut termasuk keharaman suami yang memiliki dua istri atau lebih, yakni hubungan tubuh suami-istri dengan istri satu disampaikan kepada istri yang lain.

Berdasarkan nas-nas di atas, maka keharaman aturan menceritakan tersebut termasuk keharaman merekam adegan ranjang untuk disebarkan, biar sanggup ditonton orang lain. Dengan keras Nabi saw. menggambarkan mereka ibarat setan:

“Tahukah apa permisalan ibarat itu?” Kemudian ia berkata, “Sesungguhnya permisalan hal tersebut ialah ibarat setan perempuan yang bertemu dengan setan pria di sebuah gang, kemudian setan pria tersebut menunaikan hajatnya (bersetubuh) dengan setan perempuan, sementara orang-orang melihat kepadanya.” (HR Abu Dawud).

Adapun merekam adegan hubungan tubuh ibarat itu untuk keperluan sendiri, termasuk perbuatan sia-sia dan tidak ada gunanya, yang sebaiknya ditinggalkan:

“Tanda dari baiknya keIslaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (Hr Ibn Majah).

Lebih dari itu, jikalau hasil rekaman tersebut kemudian disimpan, maka sanggup menjadi wasilah yang mengantarkan kepada perbuatan haram. Sebab, siapa yang sanggup menjamin rekaman itu tidak jatuh kepada orang lain? Dalam hal ini, sanggup diterapkan kaidah syara’:

“Sarana yang sanggup mengantarkan kepada keharaman, maka hukumnya jelas-jelas diharamkan.”

Adapun aturan memberitakan dan memperbincangkan insiden ibarat ini juga diharamkan, alasannya termasuk membuatkan perbuatan maksiat. Nabi SAW dengan tegas menyatakan:

Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang menampak-nampakkannya dan bahwasanya di antara bentuk menampak-nampakkan (dosa) ialah seorang hamba yang melaksanakan perbuatan pada waktu malam, sementara Allah telah menutupinya, kemudian pada waktu pagi dia berkata, “Wahai fulan, semalam saya telah melaksanakan ini dan itu.” Padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah (Muttafaq ‘alayh).

Karena itu, hendaknya seorang Muslim menjaga lisannya dari membicarakan perbuatan maksiat orang-orang ibarat mereka (mujahirin), bukan untuk menutup malu mereka, tetapi biar tidak terlibat dalam membuatkan perbuatan keji maksiat mereka di tengah-tengah orang Mukmin. Juga termasuk menjaga verbal dan pikiran dari perkara-perkara yang sia-sia, kecuali untuk menjelaskan hukumnya, biar umat tidak melaksanakan kemaksiatan serupa.

Karena seluruh perbuatan di atas diharamkan, maka men-download, mengkopi dan menyebarkannya–meski yang disebarkan ialah madaniyyah (produk materi/bukan pemikiran), tetapi alasannya madaniyyah ini terkait dengan hadharah kapitalis , dan isinya diharamkan oleh Islam–jelas hukumnya haram. Wallâhu a’lam. (sumber: Islampost)

Hukum Suami Minum Air Susu Istri (Asi)

Kumpulan Doa Islami - Tidak ada yang tidak transparan dalam Islam, termasuk soal urusan ranjang. Sepanjang tidak terkait dengan deskripsi praktik dan detil, maka semua terbuka, dan dibolehkan untuk dibicarakan.

Satu hal yang mungkin tak akan sanggup terhindarkan dalam hubungan suami istri yaitu percumbuan sebelum dan saat melaksanakan hubungan yang dalam Islam ini sangat suci. Bagaimana bila istri lalu tengah berada dalam kondisi menyusui?

Dibolehkan bagi suami untuk menghisap puting istrinya. Bahkan hal ini dianjurkan, bila dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis sang istri. Sebagaimana pihak lelaki juga menginginkan biar istrinya memenuhi kebutuhan biologis dirinya.Adapun saat kondisi istri tengah menyusui bayi, lalu suami minum susu istri, para ulama ada bebarapa pendapat di sebagian kalangan.

Madzhab Hanafi berselisih pendapat. Ada yang menyampaikan boleh dan ada yang me-makruh-kan.

Dalam Al-Fatawa al-Hindiyah (5/356) disebutkan, “Tentang aturan minum susu wanita, untuk pria yang sudah baligh tanpa ada kebutuhan mendesak, termasuk perkara yang diperselisihkan ulama belakangan.”

Dalam Fathul Qadir (3/446) disebutkan pertanyaan dan jawaban, “Bolehkah menyusu sesudah dewasa? Ada yang menyampaikan tidak boleh. Karena susu termasuk bab dari badan manusia, sehingga dihentikan dimanfaatkan, kecuali bila terdapat kebutuhan yang mendesak.”

Sikap yang lebih sempurna yaitu suami berusaha biar tidak minum susu istri dengan sengaja, alasannya yaitu dua hal:
  1. Keluar dari perselisihan ulama. Karena ada sebagian yang melarang, meskipun hanya dihukumi makruh.
  2. Perbuatan ini menyelisihi fitrah manusia.

Suami yang pernah minum susu istrinya, tidaklah menjadikan dirinya menjadi anak persusuan bagi istrinya.

Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin mengatakan: “Menyusui orang sampaumur tidak memberi imbas apapun, alasannya yaitu menyusui seseorang yang menjadikan adanya hubungan persusuan yaitu menyusui sebanyak lima kali atau lebih dan dilakukan di masa anak itu belum usia disapih. Adapun menyusui orang sampaumur tidak menunjukkan imbas apapun. Oleh alasannya yaitu itu, andaikan ada suami yang minum susu istrinya, maka si suami ini TIDAK lalu menjadi anak sepersusuannya,” (Fatawa Islamiyah, 3/338). Wallohu alam bi shawwab.

4 Aturan 'Azl (Mengeluarkan Sperma Di Luar Rahim Istri Ketika Berjima)

Kumpulan Doa Islami - Dalam literatur fiqh Islam, istilah ‘Azl diartikan sebagai tindakan suami mencabut kemaluan dalam bekerjasama saat mendekati ejakulasi dan mengeluarkan sperma di luar rahim supaya tidak terjadi pembuahan. Bagaimana hukumnya dalam Islam?

Dilansir dari laman islampos, secara aturan setidaknya ada empat pandangan berbeda menyikapi problem Azl ini, diantaranya :
#1 - Boleh Secara Mutlak
Pendapat ini dilansir oleh kalangan Syafi’iyyah dengan berdasarkan hadits Shahih yang diriwayatkan dari Jabir Ra

وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ : – كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ , وَلَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ اَلْقُرْآنُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ (1) .
وَلِمُسْلِمٍ : – فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَنْهَنَا – (2)
Artinya :
“Kami melaksanakan Azl dimasa Rasululloh SAW sementara Alquran turun, jikalau saja hal itu larangan pasti alQuran akan melarang kami melakukannya,” (Mutafaq ‘Alaih/Sunan Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620),

“Kami melaksanakan `azl pada masa Nabi SAW. Kabar tersebut hingga kepada beliau, tetapi dia tidak melarangnya,” (HR Muslim).

Akan tetapi berdasarkan An-Nawawy (Ulama’ Syafiiyyah) dalam Syarh Muslim menegaskan apabila Azl dilakukan demi menghindari kehamilan hukumnya makruh secara mutlak baik ada kerelaan pihak istri atau tidak alasannya yaitu tindakan Azl dianggap memutus keturunan.

#2 - Makruh apabila ada HAJAT
Pernyataan ini dipegang oleh kalangan Hanabilah dengan dasar beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Umair dan Ibnu Umair yang membenci Azl alasannya yaitu sanggup mengurangi jumlah keturunan yang dianjurkan syara’ Sabda Nabi saw “Menikahlah kalian dan memperbanyak keturunan”

#3 - Boleh apabila ada kerelaan Istri
Pendapat ini Statemen dari Imam ahmad berdasarkan sebuah Hadits dari Umair yang diriwayatkan Ibnu Majah
هَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعْزَلَ عَنْ الْحُرَّةِ إِلَّا بِإِذْنِهَا
Artinya :
Dari ‘Umar ibn al-Khattab berkata: “Nabi melarang perbuatan `azl terhadap perempuan merdeka kecuali seizinnya”. (HR Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620)
Perlunya kerelaan dari pihak istri ini dikarenakan istri mempunyai Hak atas anak sehingga dengan tindakan Azl akan menghilangkan haknya namun apabila istri memperlihatkan mengatakan izin hukumnya tidak makruh.

#4 - Haram
Pendapat ini dilansir oleh kalangan Dhohiriyyah dengan tendensi hadits yang diriwayatkan dari Judzamah Ra
أن الصحابة سألوا رسول الله عن العزل فقال : ذلك الوأد الخفي
Artinya :
“Sesungguhnya para shahabat bertanya perihal Azl, Nabi menjawab hal itu yaitu pembunuhan anak dengan samar” (HR. Muslim)

Hukum Ijab Kabul Sesama Jenis Dalam Agama Islam

Kumpulan Doa Islami - Di indonesia, akhir-akhir ini banyak media yang memberitakan kesepakatan nikah sesama jenis. Nampaknya kesepakatan nikah sesama sejenis ini sudah tidak tabu lagi meskipun bahwasanya di indonesia sendiri masih dilarang.

Kasus terbaru yang sedang ramai di beritakan media ketika ini yaitu kesepakatan nikah sejenis antara Suwarti alias Efendi Saputra yang menikahi perempuan berjulukan Heniyati. Sebagaimana diberitakan oleh banyak sekali media, dalam investigasi terkuak bahwa Suwarti bukanlah perempuan lesbian. Ia memang sayang dengan istrinya yang juga sesama perempuan. Namun hasrat seksualnya menyerupai sudah mati. Saking sayangnya dan demi membahagiakan Heniyati, bahkan Suwarti tidak murka ketika dilaporkan ke polisi. Penyesalannya bukan alasannya yakni ia sudah membohongi Heniyati, tapi justru alasannya yakni sudah menyakiti hati Heniyati.

Lantas, bagaimana pandangan islam mengenai kesepakatan nikah sesama jenis? baik itu pria dengan pria mapun perempuan dengan perempuan. Dilansir dari laman Vemale, Anggota Majlis Tarjih PP Muhammadiyah, Marifat Iman memberikan bahwa kesepakatan nikah sejenis atas nama hak asasi insan (HAM) justru melanggar HAM itu sendiri. Pasalnya, HAM yang seharusnya diperjuangkan yakni hak yang sesuai dengan kodrat alam dan digariskan Tuhan. Hal ini mengingat insan telah diciptakan berpasang-pasangan.


Selain itu, Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma'ruf Amin mengungkapkan, kesepakatan nikah sejenis melanggarkan nilai-nilai fatwa agama Islam dan haram hukumnya. Baginya, mereka yang menyukai sesama jenis mempunyai persoalan psikologis yang perlu diobati.

Sumber lain, hukumonline.com juga menyebutkan bahwa penolakan terhadap perkawinan sejenis juga dinyatakan oleh pengajar aturan Islam Universitas Indonesia, Farida Prihatini. Menurut Farida, keharaman perkawinan sejenis yakni jelas. Farida berharap semoga mereka yang melaksanakan perkawinan sejenis disadarkan bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan.

Dengan demikian, haramlah kesepakatan nikah sesama jenis dalam fatwa agama Islam. Meskipun bergulir banyak sekali bentuk pro dan kontra terhadap persoalan ini, Islam dengan tegas menyatakan bahwa kesepakatan nikah ini yakni haram hukumnya. Setidaknya, sebagai seorang muslim, kiranya kita sanggup memahami dan mengamalkan apa yang menjadi pedoman dalam hidup kita.

Semoga anak cucu dan keturunan kita tetap dalam jalan Allah SWT, terhindar dari pergaulan bebas apalagi dalam kesepakatan nikah sejenis. Mudah-mudahan artikel yang singkat ini sanggup bermanfaat bagi kita semua. Amin

Dalil Al-Qur'an Dan Al-Hadtis Ihwal Berdoa

Kumpulan Doa Islami - Doa, doa dan doa. Itulah yang bisa kita lakukan untuk mengadu segala sesuatu kepada Sang Penipta. Ketika kita dilanda kesukaran, kesulitan, dan lain sebagainya tentu kita akan berdoa dan memohon kepada Allah SWT biar segera diberi jalan keluar dan/atau kemudahan.

(Pelajari juga: Doa Agar Diberi Kemudahan dalam Segala Urusan Lengkap Arab Latin dan Artinya)

Ya... selain kita berusaha sekuat tenaga untuk mencapai sesuatu, kita juga dianjurkan untuk berdoa. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa semampu kita, sedangkan kesannya kita serahkan kepada Allah SWT. Lantas, apa sebenarnya aturan berdoa serta dalil-dalil berdoa?

Perlu diketahui, bahwa doa merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan, meskipun berdoa tidak memerlukan suatu syarat dan rukun tertentu menyerupai halnya ibadah sholat, puasa dan/atau ibadah zakat. Banyak firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW yang menerengkan ihwal doa dan merintahkan orang-orang beriman biar berdoa. Beberapa diantaranya yaitu sebagai berikut:

Dalil Al-Hadits

اَلدُّعَاءُ هُوَالْعِبَادَةُ
Artinya :
Doa itu yaitu Ibadah
Diriwayatkan dari Al-Turmudzî yang artinya sebagai berikut:
"Barangsiapa dibukakan pintu doa untuknya, berarti telah dibukakan pula untuknya segala pintu rahmat. Dan tidak dimohonkan kepaia Allah, yang lebih disukai-Nya selain daripada dimohonkan 'afiyah. Doa itu memberi manfaat terhadap yang telah diturunkan dan yang belum diturunkan. Dan tak ada yang sanggup menangkis ketetapan Tuhan, kecuali Doa. Sebab itu berdoa kau sekalian." (HR. Al-Turmudzî).

مَاعَلَى اْلاَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُواللهَ تَعَالَى بِدَعْوَةٍ اِلاَّ اَتَاهُ اللهُ اِيَّاهَا اَوْصَرَفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَا مَالَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ اَوْقَطِيْعَةِ رَحِمٍ
Artinya :
"Tiap Muslim di muka bumi yang memohonkan suatu permohonan kepada Allah, pastilah permohonannya itu dikabulkan Allah, atau dijauhkan Allah daripadanya sesuatu kejahatan, selama ia mendoakan sesuatu yang tidak membawa kepada dosa atau memutuskan kasih sayang." (HR Al-Thurmudzî).

Dalil Al-Qur'an

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ. وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya :
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan bunyi yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kau menciptakan kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan keinginan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat bersahabat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-A'raf : 55-56)

وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Artinya :
"Dan Allah memiliki nama-nama yang sangat indah (Al-Asmâ'u al-Husnâ), maka memohonlah kau kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama itu." (QS. Al-A'raf : 180)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya :
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu ihwal Aku, Maka (jawablah), sesungguhnya saya yaitu dekat. saya mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, biar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah : 186)

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Artinya :
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, pasti akan Kuperkenankan bagimu". (QS. Al-Mu'min : 60)

Teman-teman, itulah beberapa dalil Al-Qur'an dan A-Hadits ihwal berdoa. Sudah sangat jelas, kalau kita tidak pernah berdoa kepada Allah SWT maka apalah jadinya? Karena Allah SWT sudah berjanji sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an: "Berdoalah kepada-Ku, pasti akan Kuperkenankan bagimu".

Semoga sedikit artikel yang kami share pada kesempatan ini sanggup bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Ternyata Pekerjaan Rumah Tangga Itu Kewajiban Suami

Kumpulan Doa Islami - Umumnya, pekerjaan rumah tangga menyerupai masak, cuuci baju, bebersih rumah dan lainnya ialah pekerjaan seorang istri, tetapi ternyata justru pekerjaan rumah tersebut sepenuhnya ialah tanggung jawab suami. Seorang istri tidak berkewajiban untuk pekerjaan tersebut, namun bila seorang istri melakukannya maka sang suami wajib memberinya honor dengan nilai yang pasti.

Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekadar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus ‘menggaji’ para istri. Dan uang honor itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga. 4 Mazhab besar bersepakat bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.

1. Mazhab As-Syafi’i
Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan:
Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk menciptakan roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, lantaran yang ditetapkan (dalam pernikahan) ialah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.

2. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai’ menyebutkan:
Seandainya suami pulang bawa materi pangan yang masih harus dimasak dan diolah, kemudian istrinya enggan untuk memasak dan mengolahnya, maka istri dihentikan dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membawa masakan yang siap santap.

Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan:
Seandainya seorang istri berkata, ‘Saya tidak mau masak dan menciptakan roti,’ maka istri itu dihentikan dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya masakan siap santap, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.

3. Mazhab Hambali
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni materi makanan, menciptakan roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, menyerupai memberi minum kuda atau memanen tanamannya.

4. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan:
Wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami mempunyai keluasan rezeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami ialah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.

Selain ke empat madzhar diatas, Mazhab Adz-Dzahiri juga beropini sama yakni "para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya".

Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, menciptakan roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.

Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya masakan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan daerah tidur.

Dalam kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, ia agak kurang baiklah dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap menyampaikan bahwa perempuan wajib berkhidmat di luar urusan seks kepada suaminya. Dalam pandangan beliau, perempuan wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu ialah timbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.

Namun satu hal yang jangan dilupakan, ia tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga. Artinya, istri menerima ‘upah’ materi di luar uang nafkah kebutuhan bulanan.

Sungguh, begitu mulianya seorang perempuan dalam Islam, termasuk dalam berumah tangga. Maka, patut baginya untuk mengikuti apa yang diperintahkan padanya, yakni memenuhi hasrat biologis suami. Sebab, suami mempunyai tanggungjawab besar manafkahi istri.

Sedang tentang kiprah pekerjaan rumah, bukan berarti seorang istri itu berleha-leha dengan menunjukkan tanggungjawab sepenuhnya pada suami. Tetapi, melaksanakan pekerjaan rumah itu sama halnya ibadah, yakni meringankan beban yang dipikul oleh suami. dan dari situlah seorang istri memperoleh pahala lebih. Oleh alasannya ialah itu, seorang suami pun patut mengapresiasi istri yang melaksanakan pekerjaan rumah, dengan menunjukkan nafkah terbaiknya.

Itulah klarifikasi mengenai pekerjaan rumah tangga yang ternyata semua itu ialah kewajiban seorang suami. Semoga artikel ini sanggup bermanfaat bagi kita semua dan tentunya menambah wawasan kita khususnya dalam rumah tangga. (Source: Islampos)

Tidur Sesudah Sholat Subuh Hukumnya Haram?

Kumpulan Doa Islami - Mungkin sebagian dari kita pernah dan bahkan sering tidur sehabis melaksanakan sholat subuh, terlebih jikalau hari-hari libur. Saya eksklusif sering melakukannya :D. Namun setiap kali melaksanakan hal tersebut, orang bau tanah zaman dulu sering kali tidak mengizinkan kita untuk tidur sehabis sholat subuh, yang mana dulu mereka sering memberi alasan kalo sehabis sholat subuh tidur lagi, maka akan jadi orang ndeso atau menjadi pelupa.

Entah dasar apa orang bau tanah terdahulu menyampaikan alasan tersebut, namun yang niscaya niat mereka baik dan positif. Lantas bagaimana pandangan para ulama mengenai tidur sehabis sholat subuh? Apakah hal itu haram atau tidak boleh dan atau di perbolehkan?. Untuk lebih jelasnya, marilakah kita bersama-sama simak dan pelajari ulasan berikut ini ihwal ajaran tidur sehabis sholat subuh, sebagaimana dilansir dari laman Republika.

Ada dua pendapat menyikapi aturan tidur segera sehabis shalat shubuh. Pandangan yang pertama menyampaikan bahwa, tidur pada jam tersebut diperbolehkan. Menurut pendapat ini, tak ada dalil yang secara tegas melarang tidur usai shalat shubuh. Bahkan berdasarkan Syeh Muhammad Shalih al-Munjid, sebagian kecil sobat dan tabiin memiliki kebiasaan ini.

Tidur sehabis shubuh, berdasarkan pendapat ini juga, boleh dilakukan selama memang kebutuhannya menuntut demikian. Misal mereka yang terkena serangan susah tidur (imsonia) atau para pekerja yang mendapat shift malam.

Catatan pengecualian ini ibarat pernah disampaikan oleh Imam Ibn al-Qayyim dalam Kitab Zaad al-Ma’ad.

Sementara dinukilkan dari Kitab al-Fawakih ad-Dawani, Imam Malik pernah ditanya soal aturan tidur bakda shalat Shubuh. Ia beropini kegiatan ini tidak haram.

Namun, kembali berdasarkan Syekh al-Munjid, sebagian ulama menghukumi makruh tidur sempurna sehabis menunaikan shalat shubuh. Ini karena, pada waktu itulah, Allah SWT membagikan rezeki bagi para hamba-Nya.

Dalam sebuah hadis riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Hibban, suatu ketika Rasulullah SAW mendapati Fatimah tengah tiduran usai shalat shubuh.

Lalu Rasul berkata,’ Wahai Fatimah berdiri dan saksikanlah rezeki Tuhanmu dan jangan hingga masuk golongan orang lalai, alasannya gotong royong Allah membagi rezeki hamba-Nya semenjak habis munculnya waktu fajar hingga terbit matahari.”

Atas dasar inilah sejumlah ulama memandang aturan tidur sehabis shalat shubuh makruh. Dalam Kitab Ghidza al-Albab’ Syarh Manzhumat al-Albab, Imam as-Sifaraini menyampaikan hendaknya seorang Muslim tidak tidur pada waktu-waktu tersebut.

Imam as-Suyuthi, dalam Kitab Tadzkirahnya menjelaskan tidur pada waktu usai shalat Shubuh ialah salah satu menunjukan kefakiran seseorang. Sebab, ibarat hadis riwayat Ahmad, Dawud, dan lainnya, keberkahan umat Muhammad SAW, terletak di awal pagi.

Tidur sehabis shalat Shubuh, memang sudah lazim dilakukan oleh sebagian orang, tak hanya di dalam negeri, kegiatan serupa juga kerap dijumpai di luar negeri. Namun tidak ada keterangan atau dalil yang menyatakan bahwa tidur sehabis sholat subuh itu haram, sebagaimana yang sudah kami paparkan diatas.

Alangkah lebih baiknya, jikalau memang sehabis simpulan sholat subuh dan belum ada kegiatan, sebaiknya manfaatkan waktu tersebut untuk mengaji, membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an dan/atau melaksanakan hal-hal yang positif lainnya daripada menentukan untuk tidur lagi. Semoga sedikit artikel ini sanggup bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Hukum Puasa Muharam - Puasa Asyura

Kumpulan Doa Islami - Di dalam Surah at-Taubah ayat 36 menyebut Muharram, termasuk empat bulan yang dimuliakan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Tak sedikit umat Muslim yang memutuskan untuk berpuasa penuh sepanjang bulan Suro dalam tradisi Jawa tersebut. Lantas Apa aturan Muharram atau Puasa Syura?

Jalal bin Ali Hamdan as-Sulami menjawab pertanyaan ini dalam makalahnya yang berjudul Dirasat Ushuliyyah Haditsiyya li Shaum ‘Asyura’. Ia mengungkapkan, para ulama setuju boleh berpuasa sepanjang Muharram, dan hukumnya sunat. Bukan wajib. Pandangan ini disampaikan oleh Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم
Artinya :
“Sebaik-baik puasa sehabis Ramadlan yaitu puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim 1163).

Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya memperbanyak puasa selama Muharam. An-Nawawi mengatakan,
تصريح بأنه أفضل الشهور للصوم
Artinya :
”Hadis ini menegaskan bahwa Muharam yaitu bulan yang paling utama untuk puasa.” (Syarh Shahih Muslim, 8/55).

Kemudian, dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Artinya :
”Puasa hari Asyura, saya berharap kepada Allah, puasa ini menghapuskan (dosa) setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim 1162).

Dan sehabis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat warta bahwa Puasa Asyura yaitu kebiasaan puasa yahudi yang paling agung, ia bertekad, tahun depan akan puasa tanggal 9 Muharam, semoga puasa ia beda dengan kebiasaan puasa yahudi. (HR. Muslim 1134)

Berdasarkan keterangan di atas, kita sepakat, bahwa dalam puasa Muharam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memilih hari khusus yang paling istimewa untuk puasa, selain tanggal 9 dan 10 Muharam. Beliau hanya menganjurkan memperbanyak puasa selama Muharam. Karena itu, tidak dibenarkan seseorang menyatakan ada usulan khusus untuk berpuasa tanggal 1 Muharam atau tanggal sekian Muharam, sementara dia tidak mempunyai dalil yang mendukung pernyataannya.

Hukum Puasa Tanggal 1 Muharam

Satu prinsip yang penting untuk kita garis bawahi, bahwa satu amal yang sama, dapat jadi mempunyai aturan yang berbeda, tergantung dari niat pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kaidah,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya :
”Sah dan tidaknya amal, bergantung pada niatnya, dan seseorang akan mendapat sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari 1 dan Muslim 1907)

Keutamaan Puasa 'Asyura - 9, 10, 11 Muharram

Kumpulan Doa Islami - Alhamdulillah kita hampir memasuki pertengahan bulan muharram, yang mana khususnya di tanggal 9, 10 dan 11 muharram kita umat muslim dianjurkan untuk melaksanakan ibadah puasa sunnah yang biasa disebut puasa asyura. Sungguh sangat luar biasa jikalau kita sanggup mengamalkan ibadah puasa ini alasannya pahalanya begitu besar, yaitu akan dihapusnya dosa-dosa tahun sebelumnya.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Artinya :
Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro saya berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” [ HR. Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024). Hadits semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih dia (1162) ]

Jika teman-teman hendak berpuasa asyura, hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya. Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, “Ya Rasulullah ini yaitu hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya :
Jika tahun depan insya Allah (kita bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“
Akan tetapi belum datang Muharram tahun depan sampai Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut [ HR. Muslim (1134) ]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
Artinya :
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma dia berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi” [Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]

Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)

Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayat seputar puasa ‘Asyuro, dia menyimpulkan : Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama; dan ini yang paling tepat yaitu puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua; puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits . Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja. Kesimpulan Ibnul Qayyim di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. bersabda :
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
Artinya :
“Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam problem ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]
Namun hadits ini sanadnya lemah, Asy Syaikh Al Albani rahimahulloh menyatakan, “Hadits ini sanadnya lemah alasannya salah seorang perowinya yang berjulukan Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila buruk hafalannya, selain itu riwayatnya menyelisihi riwayat ‘Atho bin Abi Rabah dan selainnya yang juga meriwayatkan dengan sanad yang shohih bahwa ini yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma sebagaimana yang disebutkan oleh Thahawi dan Baihaqi .

Dalam pandangan yang lain, hadist yang lemah boleh dilaksanakan, hal ini dikarenakan untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan umat-Nya. Bereda dengan hadist yang menjelaskan ihwal syari’at. Maka hadist yang lemah tidak diperbolehkan untuk dijadikan sebagai landasan atau dasar.

Namun demikian puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua alasan:
  1. Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka puasa tanggal sebelasnya akan sanggup memastikan bahwa seseorang mendapat puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10).
  2. Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).

Adapun puasa tanggal 9 dan 10, pensyariatannya dinyatakan dalam hadis yang shahih, dimana Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada janjkematian dia sudah merencanakan untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja dia wafat sebelum melaksanakannya. Beliau juga telah memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 supaya berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.

Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama yang lain memandang tidak mengapa jikalau hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja, wallohu a’lam. Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan ajuan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk melaksanakan puasa, sekalipun hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan tentunya kita sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh kaum muslimin.

Itulah sedikit ulasan ihwal puasa 'asyuro. Selamat menjalankan ibadah puasa sunnah ini, semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Amin-amin Ya Rabbal 'Alamin. Amin

Hukum Mencabut Bulu Alis (Wanita Wajib Baca)

Kumpulan Doa Islami - Dewasa ini, sebagian perempuan (khususnya) melaksanakan aneka macam macam cara untuk perawatan badan supaya tampil lebih anggun dan menawan, salah satunya dengan mencabut/mencukur bulu alis atau melaksanakan sulam alis, supaya alis terlihat lebih menarik. Selain alis, masih banyak lagi bagian-bagian badan tertentu yang dihias sedemikian rupa supaya lebih anggun dan menarik, contohnya mentato, mengkikir gigi dan lain sebagainya.

Tidak bisa dipungkiri, di kurun yang modern ini mulai dari ABG, orang remaja dan bahkan orang bau tanah banyak yang melaksanakan hal tersebut demi merubah penampilannya supaya lebih cantik, padahal apa yang Allah anugerahkan kepada kita semua itu yakni suatu keindahan yang patut disyukuri dan dinikmati. Lantas, bagaimana islam memandang orang-orang yang melaksanakan pencabutan atau mencukur bulu alis?

Apa hukumnya mencukur atau mencabut bulu alis? Untuk lebih jelasnya mari kita simak hingga simpulan ulasan berikut ini wacana "Hukum Mencabut Bulu Alis" sebagaimana yang kami lansir dari laman republika.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud RA, Rasulullah SAW memberi perhatian khusus terhapa problem ini. Nabi SAW bersabda:
''Allah mengutuk perempuan-perempuan pentato dan mereka yang minta ditato, perempuan-perempuan yang mencukur alis dan mereka yang minta dicukur alisnya, perempuan-perempuan yang mengikir giginya supaya lebih indah dan mereka yang mengubah ciptaan Allah.''

 melaksanakan aneka macam macam cara untuk perawatan badan supaya tampil lebih anggun dan menawan Hukum Mencabut Bulu Alis (Wanita Wajib Baca)
Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam buku Fiqih Wanita, mengatakan, mengubah ciptaan Allah yang dengan cara menambah atau mengurangi tidak boleh agama.Menurut dia, mengubah bentuk wajah dengan make up, bentuk bibir maupun alis, termasuk juga mencukur alis, mengecat kuku dan lainnya yakni haram.

Menurut al-Jamal, Islam menganggap hal itu sebagai cara berhias yang berlebihan. Lebih jauh dijelaskan, remaja ini banyak perempuan yang justru tidak mengerti tabiatnya sendiri. Mereka tidak tahu bahwa dengan keluarnya dari susila kewanitaan, mereka tidak lagi orisinil dan tidak benar-benar perempuan lagi.

Padahal, papar al-Jamal, setiap perempuan sebetulnya telah diciptakan Allah dengan wajah tersendiri. Oleh lantaran itulah, dia meminta supaya kaum Muslimah tidah meniru-niru praktik yang dinilai bertentangan dengan Sunatullah tersebut.

Mufti Agung Mesir, Syekh Ali Jum'ah Muhammad juga telah mengeluarkan pedoman terkait an-namsh atau mencabut bulu alis. Menurut dia, terdapat dua pendapat di kalangan para andal bahasa mengenai masuknya bulu-bulu lain yang tumbuh di wajah ke dalam larangan ini.

''Perbedaan inilah yang mendasari perbedaan ulama mengenai aturan mencabut bulu selain bulu alis; antara yang menghalalkan dan yang mengharamkannya,'' papar Syekh Ali Jum'ah. Menurut dia, an-namishah yakni perempuan yang mencabut bulu alisnya atau bulu alis orang lain. Sedangkan, al-mutanammishah yakni perempuan yang menyuruh orang lain untuk mencabut bulu alisnya.

''Ancaman dalam bentuk laknat dari Allah SWT atau Rasulullah SAW atas suatu perbuatan tertentu merupakan membuktikan bahwa perbuatan itu termasuk dalam dosa besar,'' papar Syekh Ali Jum'ah. Sehingga, kata dia, mencabut bulu alis bagi perempuan yakni haram jikalau dia belum berkeluarga, kecuali untuk keperluan pengobatan, menghilangkan cacat atau guna merapikan bulu-bulu yang tidak beraturan.

Perbuatan yang melebihi batas-batas tersebut, hukumnya yakni haram. Menurut Syekh Ali Jum'ah, perempuan yang sudah berkeluarga, diperbolehkan melakukannya jikalau menerima izin dari suaminya, atau terdapat indikasi yang menawarkan izin tersebut. ''Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama.''

Mereka beralasan bahwa hal itu termasuk bentuk berhias yang diharapkan sebagai benteng guna menjauhi hal-hal tidak baik dan untuk menjaga kehormatan ('iffah). Maka secara syar'i, seorang istri diperintahkan untuk melakukannya demi suaminya. Hal itu sesuai dengan hadis yang diriwayatkan ath-Thabari dari istri Abu Ishak.

Pada suatu hari dia berkunjung kepada Aisyah RA. Istri Abu Ishak itu yakni seorang perempuan yang suka berhias. Dia berkata kepada Aisyah, "Apakah seorang perempuan boleh mencabut bulu di sekitar keningnya demi suaminya?" Aisyah menjawab, "Bersihkanlah dirimu dari hal-hal yang mengganggumu semampumu."

Dalam risalah Ahkaam an Nisaa' karya Imam Ahmad, dia mengatakan, Muhammad bin Ali al Wariq memberitakan, katanya, ''Mahna bercerita kepada kau bahwa dia pernah bertanya kepada Abu Abdillah wacana mencukur wajah. Maka dia menjawab, ''Bagi perempuan itu tidak ada jeleknya.''

Akan tetapi, oleh peneliti risalah itu dijelaskan, ''Mencabut pun termasuk mengubah wajah juga. Karena mencabut artinya membedol rambut dari kawasan aslinya, sehingga seakan-akan kawasan itu kesudahannya tidak berambut, padahal aslinya berambut. Berarti mencabut pun sama halnya dengan melaksanakan perubahan.''

Dalam kitab Ad Diin al Khalish, Imam Ahmad kembali menegaskan, ''Kalau ada perempuan yang tumbuh janggut atau kumis, maka tidaklah haram menghilangkannya, bahkan mustajab atau malah wajib.'' Berdasarkan pendapat itu perempuan hendaknya membersihkan wajahnya sesuai dengan kewanitaannya.

Caranya, menyerupai disampaikan kembali oleh Imam Ahmad, membersihkan wajah dari rambut-rambut yang berlebihan, jangan menggunakan pisau cukur, tapi hilangkanlah dengan krem, bedak khusus atau yang sejenisnya.

Dari uraian diatas sanggup kita simpulkan bahwa tidak diperbolehkan kita untuk mencukur atau mencabut bulu alis demi mempercantik tampilan semata, kecuali untuk perempuan yang sudah bersuami boleh-boleh saja asalkan sudah menerima izin dari suaminya, akan tetapi jikalau ada bulu-bulu yang tumbuh tidak sewajarnya semisal perempuan tumbuh kumis atau jenggot maka boleh-boleh saja untuk mencukur atau mencabutnya yaitu dengan kream atau bedak penghilang bulu. Begitulah kurang lebihnya kesimpulan dari uraian diatas.

Jika teman-teman punya uraian yang lebih konkrit dari artikel ini, silakan bisa dishare pada kolom komentar. Terima kasih, semoga bermanfaat.

Hukum Aqiqah Anak Digabung Dengan Qurban

Kumpulan Doa Islami - Seperti yang kita ketahui bahwa ibadah yang sama-sama menyembelih binatang ialah akikah dan kurban. Hukum dari akikah dan kurban yaitu sunah muakkad yakni sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Adapun untuk waktu pelaksanaan akikah pada hari ketujuh, ke-14 dan ke-21 kelahiran anak sedangkan pelaksanaan kurban yaitu pada hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyrik.

Lantas, jikalau waktu akikah dan kurban bertepatan, apakah boleh pelaksanaannya sekaligus saja? Artinya, ada satu amalan dilakukan dengan dua niat, yaitu niat berkurban dan niat berakikah. Permasalahan juga timbul bagi mereka yang telah remaja dan belum sempat diakikahkan oleh orang tuanya. Jika ia memiliki kesanggupan, manakah yang lebih utama baginya, berkurban atau mengakikahkan dirinya terlebih dahulu? Atau, bisakah kedua-duanya digabung terealisasi sekaligus?


Tentang permasalahan ini, ada perbedaan pendapat ulama. Ada yang mengatakan, jikalau waktu kurban bertepatan dengan waktu akikah, cukup melaksanakan satu jenis sembelihan saja, yaitu akikah. Pendapat ini diyakini Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali), Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), dan beberapa ulama lain, menyerupai Hasan Basri, Ibnu Sirin, dan Qatadah.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan kurban, maka kurban tersebut bisa jadi satu dengan akikah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jikalau kurban digabungkan dengan akikah,” demikian menyerupai diterangkan dalam kitab Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah.

Mereka berdalil, beberapa ibadah bisa mencukupi ibadah lainnya menyerupai dalam kasus kurban bisa mencukupi akikah atau sebaliknya. Sebagaimana seorang yang menyembelih dam saat menunaikan haji tamattu’. Sembelihan tersebut ia niatkan juga untuk kurban, maka ia mendapat pahala dam dan pahala kurban. Demikian juga shalat Id yang jatuh pada hari Jumat, maka diperbolehkan tidak mengikuti shalat Jumat lantaran sudah menunaikan shalat Id pada paginya.

Sedangkan pendapat dari Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i), Imam Malik (Mazhab Maliki), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad menyampaikan dihentikan digabung. Alasannya, lantaran keduanya memiliki tujuan yang berbeda dan alasannya ialah yang berbeda pula. Misalkan, dalam kasus pembayaran dam pada haji tamattu’ dan fidyah. Keduanya tidak bisa saling mencukupi dan harus dilaksanakan terpisah.

Masalah ini menyimpulkan, tidak seluruh jenis ibadah yang bisa digabung pelaksanaannya dalam dua niat sekaligus. Kurban dan akikah masuk dalam kategori ini. Tujuan kurban ialah tebusan untuk diri sendiri, sedangkan akikah ialah tebusan untuk anak yang lahir. Jika keduanya digabung, tujuannya tentu akan menjadi tidak jelas.

Ini ditegaskan dalam Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah yang menyebutkan, “Akikah dilaksanakan untuk mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan kurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).”

Bahkan, salah seorang ulama Syafi’iyah, al- Haitami, menegaskan, seandainya seseorang berniat satu kambing untuk kurban dan akikah sekaligus, keduanya sama-sama tidak dianggap. “Inilah yang lebih sempurna lantaran maksud dari kurban dan akikah itu berbeda,” tulis Al Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj.

Pandangan ulama yang lebih berpengaruh dalam dua perbedaan pendapat ini ialah pendapat yang tidak membolehkan untuk menggabung pelaksanaan akikah dan kurban. Terkecuali, waktu akikah pada hari ke-7, ke-14, atau ke-21 kelahiran anak bisa bertepatan jatuh pada hari berkurban. Maka, mereka yang tidak punya kemampuan lebih untuk menyembelih hewan, bisa meniatkan untuk dua pelaksanaan sekaligus, yaitu melaksanakan akikah sekaligus bisa pula berkurban.

Pendapat ini pernah difatwakan Syekh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Dalam Majmu’ Fatawa wa Rosail Al Utsaimin dijelaskan, mereka yang punya kecukupan rezeki dan ada dalam posisi ini, maka hendaklah menyembelih dua ekor kambing jikalau anaknya laki-laki. Hal itu disebabkan wajibnya akikah untuk anak pria memang menyembelih dua ekor kambing.

Adapun mereka yang telah mencapai usia dewasa, sementara belum diakikahkan orang tuanya, maka tidak wajib baginya mengakikahkan dirinya sendiri. Inilah pendapat ulama yang lebih berpengaruh dari Mazhab Syafi’i dan Hanbali. Akikah hanya menjadi tanggung jawab orang tuanya, atau mereka yang menanggung beban nafkah atasnya. Jadi, ia bisa melaksanakan kurban dan tidak perlu lagi memikirkan akikah untuk dirinya.

Sementara, beberapa ulama dari Hanbali lainnya memang mengatakan, boleh melaksanakan akikah kapan pun. Menurut mereka, waktu menunaikan akikah tidak dibatasi (seperti pendapat yang lebih berpengaruh menyampaikan hari ke-7, ke-14, dan ke-21). Jadi, mereka yang memegang pendapat ini, saat sudah mampu, ia disukai jikalau ia mengakikahkan dirinya sendiri. Namun, pendapat ini lemah dan tidak dianjurkan untuk diikuti. Demikian menyerupai diterangkan dalam Kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu.

Adapun orang yang sudah remaja dan ingin mengakikahkan dirinya sendiri sekaligus menunaikan kurban, maka sikap menyerupai ini dilemahkan para ulama dan tidak dianjurkan untuk diikuti.

Sumber: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/18/07/31/pcpuss313-akikah-anak-digabung-kurban-bolehkah

Hukum Patungan Kurban Sapi Dan Kambing

Kumpulan Doa Islami - Idulfitri haji atua lebaran idul adha identik dengan kurban. Pada lebaran ini umat islam berbondong-bondong untuk berkorban khususnya bagi yang mampu. Fakta di masyarakat, ada beberapa orang yang berkurban dengan cara patungan.

Lantas, bagaimanakah aturan patungan kurban? Baik itu patungan korban sapi maupun patungan qurban kambing?
Nah, pada halaman ini kami akan sedikit membuatkan untuk menjawab pertanyaan tersebut yang insya Allah berdasarkan hadits yang shahih.

Seperti dilansir dari laman Nu Online (7/9/16), sebenarnya Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan, lebih banyak didominasi ulama memperbolehkan patungan kurban. Syaratnya, binatang yang dikurbankan ialah sapi dan jumlah maksimal orang yang patungan ialah tujuh orang.

Berdasarkan persyaratan ini, patungan untuk kurban kambing tidak diperbolehkan dan lebih dari tujuh orang untuk kurban sapi juga tidak dibolehkan.

Ibnu Qudamah menuliskan:
وتجزئ البدنة عن سبعة وكذلك البقرة وهذا قول أكثر أهل العلم
Artinya :
“Kurban satu ekor unta ataupun sapi atas nama tujuh orang diperbolehkan oleh lebih banyak didominasi ulama.”

Sebagaimana dikutip Ibnu Qudamah, berdasarkan Ahmad bin Hanbal, hanya Ibnu umar yang tidak membolehkannya. Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Kebanyakan ulama yang saya ketahui membolehkan patungan kurban kecuali Ibnu Umar.”

Pendapat Ibnu Qudamah di atas tidak jauh berbeda dengan An-Nawawi. Dalam pandangannya, patungan kurban sapi atau unta sebanyak tujuh orang dibolehkan, baik yang patungan itu bab dari kelurganya maupun orang lain.

An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan:
يجوز أن يشترك سبعة في بدنة أو بقرة للتضحية سواء كانوا كلهم أهل بيت واحد أو متفرقين
Artinya :
“Dibolehkan patungan sebanyak tujuh orang untuk kurban unta atau sapi, baik keseluruhannya bab dari keluarga maupun orang lain.”

Kebolehan patungan kurban ini mempunyai landasan berpengaruh dalam hadits Nabi SAW. Sebagaimana yang tercatat dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, Ibnu Abbas mengisahkan:
كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر فحضر النحر فاشتركنا في البقرة عن سبعة
Artinya :
“Kami pernah berpergian bersama Rasulullah SAW, kebetulan di tengah perjalanan hari raya Idul Adha (yaumun nahr) datang. Akhirnya, kami patungan membeli sapi sebanyak tujuh orang untuk dikurbankan,” (HR Al-Hakim).

Jabir bin ‘Abdullah juga pernah mengisahkan:
كنا نتمتع مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بالعمرة، فنذبخ البقرة عن سبعة نشترك فيها
Artinya :
“Kami pernah ikut haji tamattu’ (mendahulukan ‘umrah daripada haji) bersama Rasulullah SAW, kemudian kami menyembelih sapi dari hasil patungan sebanyak tujuh orang.” (HR Muslim).

Nah, dari beberapa pendapat menyerupai yang sudah dijelaskan di atas, serta didukung oleh hadits Nabi SAW, sanggup disimpulkan bahwa patungan untuk membeli sapi yang akan dikurbankan diperbolehkan dengan syarat pesertanya 7 orang (tidak lebih dari tujuh orang). Hal ini dikhususkan untuk sapi dan unta saja, sementara patungan kurban kambing ataupun domba hanya boleh untuk satu orang, dilarang patungan bila niatnya untuk kurban.

Maka jangan heran, jikalau selama ini kita menemukan praktek patungan korban sapi, alasannya hal tersebut ternyata di bolehkan. Kecuali jikalau ada yang berkorban kambing secara patungan, itu tidak di bolehkan.

Semoga dengan klarifikasi diatas, sanggup menjawab pertanyaan mengenai bagaimana aturan berkorban sapi dan kambing secara patungan?. Terima kasih, agar bermanfaat.

Sumber: nu.or.id